Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net

Senin, 14 Februari 2011

"Pentingnya UKM bagi Perekonomian Indonesia"




  Peranan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia pada dasarnya sudah besar sejak dulu. Namun demikian sejak krisis ekonomi melanda Indonesia, peranan UKM meningkat dengan tajam. Data dari Biro Pusat Statistik1 (BPS). menunjukkan bahwa persentase jumlah UKM dibandingkan total perusahaan pada tahun 2001 adalah sebesar 99,9%. Pada tahun yang sama, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh sektor ini mencapai 99,4% dari total tenaga kerja. Demikian juga sumbangannya pada Produk Domestik Bruto (PDB) juga besar, lebih dari separuh ekonomi kita didukung
oleh produksi dari UKM (59,3%). Data-data tersebut menunjukkan bahwa peranan UKM dalam perekonomian Indonesia adalah sentral dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan menghasilkan output.
Meskipun peranan UKM dalam perekonomian Indonesia adalah sentral, namun kebijakan pemerintah maupun pengaturan yang mendukungnya sampai sekarang dirasa belum maksimal. Hal ini dapat dilihat bahkan dari hal yang paling mendasar seperti definisi yang berbeda untuk antar instansi pemerintahan. Demikian juga kebijakan yang diambil yang cenderung berlebihan namun tidak efektif, hinga kebijakan menjadi kurang komprehensif, kurang terarah, serta bersifat tambal-sulam. Padahal UKM masih memiliki banyak permasalahan yang perlu mendapatkan penanganan dari otoritas untuk mengatasi keterbatasan akses ke kredit bank/sumber permodalan lain dan akses pasar. Selain itu kelemahan dalam organisasi, manajemen, maupun penguasaan teknologi juga perlu dibenahi. Masih banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh UKM membuat kemampuan UKM berkiprah dalam perekonomian nasional tidak dapat maksimal. Salah satu permasalahan yang dianggap mendasar adalah adanya kecendrungan dari pemerintah dalam menjalankan program untuk pengembangan UKM seringkali merupakan tindakan koreksi terhadap kebijakan lain yang berdampak merugikan usaha kecil (seperti halnya yang pernah terjadi di Jepang di mana kebijakan UKM diarahkan untuk mengkoreksi kesenjangan antara usaha besar dan UKM), sehingga sifatnya adalah tambal-sulam. Padahal seperti kita ketahui bahwa diberlakunya kebijakan yang bersifat tambal-sulam membuat tidak adanya kesinambungan dan konsistensi dari peraturan dan pelaksanaannya, sehingga tujuan pengembangan UKM pun kurang tercapai secara maksimal. Oleh karena itu perlu bagi Indonesia untuk membenahi penanganan UKM dengan serius, agar supaya dapat memanfaatkan potensinya secara maksimal. Salah satu pembenahan utama yang diperlukan adalah dari aspek regulasinya.



 Geliat Si Kecil di Tengah Krisis Global
Oleh Rindy Rosandya
WartawanHarian Ekonomi NERACA
Eksistensi usaha mikro, kial, dan menengah (UMKM) di Indonesia, kembali mendapat ujian besar. Setelah terbukti kokoh menghadapi krisis moneter yang melanda Indonesia, kini krisis global tengah menghadang. Bahkan, di saat perusahaan-perusahaan besar -terlebih lagi perusahaan investasi- bergelimpangan! UM-KM justru akan didorong menjadi penyelamat perekonomian nasional di saat krisis ekonomi global. Asisten Deputi Sarana dan Prasarana Pemasaran, Kementerian Koperasi dan UKM RI, A Zabadi mengatakan, dalam kondisi krisis tindakan yang paling tepat adalah mengarahkan UMKM menjadi sektor yang paling berperan dalam pembangunan ekonomi rakyat. “Terbukti dalam kondisi krisis UMKM dan koperasi tetap berkembang sehingga mampu menjadi penyelamat perekonomian nasional” kata Zabadi.
Menurut Zabadi, saat ini dana stimulus yang dikelola Kementerian Koperasi dan UKM mencapai Rpl,04 triliun. Dana tersebut dialokasikan untuk pengembangan pasar melalui koperasi dan sektor UMKM. “Sampai sejauh ini perkembangan UMKM secara nasional masih berjalan sangat bagus, tegas dia.
Buktinya, telah terjadi peningkatkan jumlah dan volume UMKM. Begitu juga dengan sektor koperasi kani jumlahnya mengalami kenaikan yang signifikan sekitar 20 persen atau mencapai 150 ribu koperasi aktif sampai awal tahun 2009. Dengan aset mencapai Rp5 triliun lebih yang berkembang hampir pada setiap sudut negeri ini. “Stimulus yang dialokasikan pemerintah tersebut juga menjadi tugas koperasi untuk mengembangkan usahamikro kecil menengah seluas-luasnya. Sehingga perekonomian Indonesia terpacu berkembang dari kegiatan UMKM dan koperasi” papar Zabadi lagi.
Dan untuk lebih menambah energi bagi perkembangan UMKM dan koperasi, Menneg Koperasi dan UKM Suryadharma Ali meminta usaha-usaha besar untuk mengembangkan kemitraan dengan UMKM demi menumbuhkan iklim usaha yang kondusif.
Apalagi, program kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar, sudah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan dan Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, khususnya Pasal 7 dan 11 mengenai penumbuhan iklim usaha.
Suryadharma mengatakan, hal itu pada intinya ditujukan antara lain untuk mewujudkan kemitraan antara UMKM dengan Usaha Besar, mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam pelaksanaan transaksi usaha antar UMKM, serta antara UMKM dengan Usaha Besar. “Melalui program kemitraan ini maka akan semakin banyak UMKM yang dapat dibiayai oleh perbankan dalam pengembangan usahanya,” kata Menkop.
Upaya tersebut juga diharapkan dapal menjadi dorongan bagi lembaga keuangan bank untuk mengembangkan program kemitraan demi pemberdayaan UMKM.
Suryadharma mencontohkan, wujud program kemitraan yang sudah dilakukan di antaranya dilakukannya penandatangan perjanjian kredit tanpa agunan pada akhir Februari lalu antara Bank Permata dengan UKM binaan Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA). “Peran dari YDBA dalam membina dan mengembangkan UMKM, diharapkan dapat men-dukung upaya pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja,” katanya.
Menurut Menkop, pelaksanaan perjanjian kredit tanpa agunan antara Bank Permata dengan UKM Binaan YDBA mencerminkan kepedulian dan kepercayaan dari pihak perbankan atas eksistensi UMKM, yang selama ini sering dianggap tidak layak untuk memperoleh pinjaman dari lembaga keuangan, khususnya perbankan. “Saya berharap, kepercayaan dari lembaga perbankan kepada UMKM ini dapat terus ditingkatkan dan ditiru oleh bank-bank lainnya sehingga secara berangsur-angsur permasalahan yang dihadapi UMKM di bidang permodalan ini dapat diatasi,” kata Suryadharma lagi.
Namun, Menkop juga berharap agar UMKM dapat menjaga kepercayaan yang diberikan oleh lembaga perbankan, antara lain dengan menjaga kualitas produk dan jasa yang dihasilkan, kedisiplinan dalam membayar pinjaman, serta moralitas dalam bersikap.
Memang, pemerintah pada tahun 2009 ini akan memprioritaskan penyaluran kredit untuk UMKM, karena sektor ini dinilai tahan terhadap guncangan krisis ekonomi. “Berdasarkan pengalaman 10 tahun lalu saat krisis ekonomi melanda Indonesia, temya-ta UMKM tetap eksis sehingga tahun ini sebagian besar penyaluran kredit diarahkan ke sektor itu,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia, Muliaman D Hadad.
Muliaman mengatakan, penyaluran kredit pada 2009 mengalami penurunan dari 30 persen menjadi 16 persen sebagai dampak dari krisis ekonomi global yang terjadi September 2008. “Dari 16 persen tersebut, sebagian besar akan disalurkan untuk meningkatkan UMKM, karena sektor itu tahan terhadap gelombang krisis ekonomi,” ujarnya.
Ia menyatakan, perekonomian dunia dalam dua tahun terakhir, termasuk di Indonesia, masih merasakan dampak dari krisis ekonomi global. Dampak langsung yang dialami Indonesia adalah menurunnya pertumbuhan ekonomi nasional yang juga mempengaruhi di masing-masing provinsi, khususnya yang selama ini mengandalkan ekspor.
Pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2008 mencapai 6 persen, tapi pada 2009 diperkirakan menurun 4-5 persen. “Untuk itu, para pelaku ekonomi, pengambil kebijakan, akademisi dan perbankan perlu duduk bersama mencari solusi dan terobosan ekonomi baru guna mengatasi krisis yang masih melanda dunia sekarang inil kata Muliaman.
Selain itu, untuk mengatasi krisis ekonomi, pemerintah kini sedang menggalakkan ekonomi berbasis syariah. Disebutkan Muliaman, temyata ekonomi syariah tahan terhadap krisis, karena selain menjalankan bisnis sesuai ajaran Islam, juga ditambah lagi unsur etika dan moral bagi pelaku bisnisnya. “Kita harapkan ekonomi syariah bisa menjawab persoalan ekonomi yang dihadapi sekarang ini dan masa yang akan datang,” katanya
Teknologi Inovatif
Nah, untuk mengatasi krisis global dan berkurangnya pasar bagi ekspor Indonesia, maka Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) akan menyuntik UMKM dengan teknologi inovatif. “Kami telah mengidentifikasi 30 bidang untuk dikembangkan, masing-masing dari tiga sektor, manufaktur, agroindustri dan industri kreatif,” kata Deputi Kepala BPPT bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi Dr Utama H Padmadinata.
Utama Padmadinata mengakui, sudah banyak lembaga yang dibentuk untuk mengembangkan
UMKM, misalnya organisasi di bawah Deperin atau di bawah Kementerian Koperasi dan UKM yang berjalan sendiri-sendiri. “Tahun 2008 Inpres no 5 mengamanatkan semua UMKM disatukan di bawah Menko Perekonomian, sehingga dibentuklah tim yang merupakan perwakilan dari 17 instansi dalam satu payung, termasuk BPPT sebagai pengembang teknologi,” katanya.
Pada 2007-2008, lanjut dia, Pusat Inovasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (PI-UMKM) itu dibentuk dan segera menyusun cetak biru dan peta jalan UMKM ke depan.
Sementara itu, Deputi Menko Perekonomian bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawadi mengatakan, penyatuan seluruh lembaga UMKM dalam satu wadah Pl-UMKM diharapkan akan semakin memperkuat sektor UMKM Indonesia. “Disini info tentang pasar alternatif di masa krisis bisa didapat. Juga info pembiayaan dan khususnya bagaimana meningkatkan produk menjadi lebih berkualitas dengan teknologi kreatif dan inovatif,” kata Edy Putra seraya menyebutkan bahwa pasar dengan sentuhan kreasi dan inovasi sangat luas.
Deputi Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan UKM Choirul Jamhari menambahkan, selama ini Indonesia memiliki banyak SDM dengan berbagai hasil risetnya di lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi, namun disayangkan “idle” (tak digunakan). “Dari mulai mengganti formalin dengan bahari pengawet makanan yang aman di bidang agro, sampai berbagai inovasi manufaktur dan seni yang perlu dimanfaatkan,” kata Choirul.
Pihaknya juga akan menyatukan sentra-sentra UMKM di berbagai daerah yang masing-masing memiliki spesifikasi produk dengan tujuan-tujuan wisata, sehingga pemasarannya semakin luas.

"Kasat Mata Kemiskinan di Indonesia"


    Pertambahan jumlah penduduk yang cepat di masa lampau, menyebab­kan saat ini pemerintah menghadapi adanya situasi sulit yang menimpa masyarakat, khususnya di wilayah padat penduduk, seperti wilayah pesisir-pantai, pedesaan lahan kering, perkotaan dan sekitarnya. Hal ini telihat dari kenyataan banyaknya potensi sumberdaya alam menjadi semakin terbatas; berkurangnya pemilikan lahan pertanian;  dan nilai tukar yang semakin buruk antara hasil pertanian dengan hasil industri; serta terbatasnya lapangan kerja dan kesempatan usaha yang dapat diakses oleh penduduk miskin kota.

Proses pengentasan masyarakat kemiskinan akan berhasil apabila terjadi pendinamisan masyarakat secara keseluruhan. Disamping itu pola adaptasi baru akan dapat dilalui masyarakat apabila tidak ada perintang yang dapat menghambat terjadinya perkembangan tersebut. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila ada intervensi pemerintah secara langsung dan cukup intense, yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan dengan jalan pembangunan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan dasar

"Kemiskinan dapat dirumuskan sebagai keadaan dari masyarakat yang hidup serba kekurangan, yang terjadi bukan karena dike­hendaki oleh mereka sendiri."
Keadaan sosial ekonomi masyarakat miskin di wilayah pedesaan dan perkotaan masih ditandai oleh pertambahan penduduk yang cukup pesat, dan sebagian terbesar masih tergantung pada sektor agrokompleks dan sektor-sektor tradisional.  Dalam situasi seperti ini tekanan terhadap sumberdaya lahan pedesaan semakin besar dan rata-rata penguasaan aset lahan setiap rumah tangga semakin minim, bahkan banyak rumahtangga yang tidak memiliki lahan garapan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi dampak keterbatasan lahan pertanian tersebut, baik melalui program intensifikasi pertanian, transmigrasi, maupun pengem­bangan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha dalam sektor non-pertanian di pedesaan. 
Sementara itu sebagian penduduk pedesaan mengambil jalan pintas untuk menolong dirinya sen­diri melalui urbanisasi ke kota. Hal ini selanjutnya akan berdampak pada fenomena kemiskinan kota.


Sesungguhnya potret besar ekonomi bangsa adalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan tingkat kesehatan rakyatnya. Sayangnya di negeri ini, pemerintah lebih suka mengukur tingkat kesejahteraan rakyatnya dengan ukuran-ukuran yang tidak berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari rakyatnya. Wajah kemiskinan yang terpampang telanjang, tingginya tingkat pengangguran dan rendahnya kualitas layanan kesehatan hadir berdampingan dengan "kaum borjuis" yang memamerkannya tanpa rasa kepedulian. Kesenjangan tersebut merupakan potret nyata kegagalan pemerintah dalam mengelola kesejahteraan. Pengelola kesejahteraan di negeri ini telah kehilangan kepedulian dan cita-cita "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" sebagaimana di amanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Sudah sepantasnya pemerintah mau belajar dari negara lain dalam mengelola kesejahteraan. Belajar dari negara maju seperti Jepang dan Amerika rasanya terlalu sulit dan berat. Mau belajar dari Singapura juga rasanya kita sudah terlalu jauh tertinggal. Jika tidak malu, kita bisa belajar dari Arab Saudi. Kekayaan Arab Saudi hanya mengandalkan minyak dan jamaah haji, sedangkan Indonesia memiliki sumber daya alam yang bervariasi dari hasil hutan , emas, minyak, batubara, tembaga, pertanian hingga pariwisata. Selain itu pemerintah Indonesia masih menarik pajak dari rakyatnya, sedangkan di Arab Saudi rakyat di bebaskan dari pajak. Arab Saudi hanya mewajibkan rakyatnya untuk membayar zakat, sama seperti yang di lakukan oleh umat Islam di Indonesia.
Hal yang membedakan adalah pengelolaan kesejahteraannya. Di arab Saudi seluruh rakyatnya di bebaskan dari biaya pengobatan, gratis biaya pendidikan dari SD hingga universitas. Selain pendidikan gratis mahasiswa Arab Saudi juga mendapat gaji dari pemerintah mereka sebesar 1000 SR. Gaji ini juga di berikan pada semua mahasiswa asing yang kuliah di arab Saudi dengan jumlah yang sama dengan mahasiswa Arab Saudi. Perbedaan lain, di Arab Saudi semua jenis usaha baik industri maupun perdagangan harus melibatkan warga Arab Saudi sebagai owner. Ingat sebagai owner, bukan sebagai budak. Dalam pengelolaan ekonominya Arab Saudi menerapkan prinsip "harus menjadi tuan di negeri sendiri". Tidak heran, Arab saudi mampu membeli SDM-SDM berkualitas dari seluruh dunia untuk menggerakkan dan mengelola perekonomian yang diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya. Arab Saudi juga mendatangkan jutaan pekerja informal dari berbagai negara muslim, untuk memberi kenyamanan dan kemudahan warga negaranya.
Bandingkan dengan di Indonesia, kemana larinya sumber daya alam yang melimpah dan bervariasi. Kalo pun SDA tersebut telah di kelola siapa yang menjadi tuannya dan siapa budaknya. Siapa yang diuntungkan?
Belum lagi kalo kita melihat semakin mahalnya biaya pendikan, pengobatan dan harga barang-barang kebutuhan pokok. Sepertinya negara ini salah urus dalam mengelola kesejahteraan rakyatnya. Sepertinya, kita akan tetap menjadi miskin di negeri sendiri dan juga menjadi budak di negeri asing. Atau ini memang takdir, bahwa negeri ini lahir sebagai negara kaya raya tapi rakyatnya miskin.
 Krisis global kok selalu jadi kambinghitam bangkrutnya Indonesia ya. Kali ini juga. Tidak tercapainya target pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) lalu (2005-2009) dibilang karena  guncangan dari luar (external shock) berupa krisis ekonomi global.
Yang menyampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Armida S. Alisjahbana usai paparan mengenai RPJMN 2010-2014 di Komisi XI DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (4/2/2010).
Armida menyatakan, ada dua hal yang membuat penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan tahun lalu tidak tercapai. Pertama, adanya pengurangan subsidi yang mengakibatkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga 2 kali pada tahun 2005. Kedua, adanya krisis ekonomi global pada tahun 2008.
“Terasa di kita yang sifatnya external shock itu yang mungkin mempengaruhi pencapaian 2005-2009,” ujarnya.
Dalam RPJMN 2005-2009, pemerintah menargetkan mampu menurunkan tingkat pengangguran dari 9,7% pada tahun 2004 menjadi 5,1% pada tahun 2009. Namun, pada realisasinya untuk tahun 2008, pemerintah hanya mampu menurunkan tingkat pengangguran hingga 8,4%.
Hal serupa juga terjadi pada pencapaian penurunan tingkat kemiskinan. Dalam RPJMN 2005-2009, pemerintah menargetkan penurunan tingkat kemiskinan dari 16,6% menjadi 8,2%. Namun, yang terealisasi pada 2008 jauh dari target yaitu hanya bisa mencapai 15,4%.
Armida menambahkan pada 2009, tingkat pengangguran dan kemiskinan tersebut berangsur turun dengan adanya pemulihan perekonomian negara.
“Kalau 2006 penganggurannya naik mestinya dilihat sampai 2009 itu turun,” sanggahnya.
Dengan demikian, pada RPJMN 2010 ini, pemerintah menargetkan penurunan tingkat pengangguran hingga 5-6% dan tingkat kemiskinan sekitar 8-10% hingga akhir 2014.(dirangkum dari detikfinance)

Rendahnya tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin yang pada kenyataannya sangat berhubungan erat dengan : 

(1).   Masalah pendapatan yang diperoleh;


(2).   Masalah Gizi dan pangan;

(3).   Masalah kesehatan;

(4).   Masalah kematian;


(5).   Masalah lingkungan pemukiman;




(6).   Masalah Pendidi­kan;




(7).   Masalah penguasaan IPTEK/Ketrampilan;



(8).   Masalah pemilikan lahan;


(9).   Masalah Kesempatan kerja; 




(10). Masalah prasarana/sarana kebutuhan dasar.

Pada kenyataannya masalah-masalah tersebut di atas dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu :
(1) masalah-masalah sistem nilai (etos) dan kelembagaan infrastruktur;
(2) masalah-masalah struktural, khususnya keterbatasan penguasaan sumberdaya dan faktor  produksi pertanian, serta kelimpahan tenagakerja;
(3) masalah-masalah kebijakan dan pendekatan model pembangunan.

sumber :  - www.bps.go.id

Sabtu, 12 Februari 2011

Tugas 1 ( Perekonomian Indonesia )



Ekonomi Indonesia
Mata uang
Tahun fiskal
Tahun kalender
Organisasi perdagangan
Statistik 
Peringkat PDB
PDB
$863,6 milyar (2005)
Pertumbuhan PDB
4,8% (2004)
PDB per kapita
$3.200 (2004)
PDB berdasarkan sektor
pertanian (16.6%), industri (43.6%), jasa (39.9%) (2004)
6.6% (2004)
Pop di bawahgaris kemiskinan
8.% (1998)
Tenaga kerja
105,7 juta (2004)
Tenaga kerja berdasarkan pekerjaan
produksi 46%, pertanian 16%, jasa 39% (1999)
8.7% (2004)
Industri utama
minyak bumi dan gas alam; tekstil, perlengkapan, dan sepatu; pertambangan, semen, pupuk kimia, plywood; karet; makanan; pariwisata
Perdagangan Internasional
Ekspor
$113,99 milyar (2007)
Komoditi utama
Mitra dagang
Jepang 22,3%, Amerika Serikat12,1%, Singapura 8,9%, Korea Selatan 7,1%, Cina 6.2% (2003)
Impor
$74,40 milyar (2007)
Komoditi utama
mesin dan peralatan; kimia, bahan bakar, makanan
Mitra dagang
Jepang 13%, Singapura 12,8%,Cina 9,1%, Amerika Serikat 8,3%,Thailand 5,2%, Australia 5,1%,Korea Selatan 4,7%, Arab Saudi4,6% (2003)
Keuangan publik 
Utang pemerintah
$454.3 milyar (56.2% dari GDP)
Pendapatan
$40.91 milyar (2004)
Belanja
$44,95 milyar (2004)
Bantuan ekonomi
$43 milyar dari IMF (1997–2000)






Indonesia
 memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakarberas, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan hutang.

Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, danhambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998. Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J HabibiePresiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.

Kajian Pengeluaran Publik
Sejak krisis keuangan Asia di akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 milyar tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 milyar telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 milyar, ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 milyar, dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001 sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006 , menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.

Selama 30 tahun terakhir struktur perekonomian Indonesia telah mengalami transisi luar biasa. Pada tahun 1967, Indonesia berada dalam situasi yang sangat kacau. Pendapatan per kapita turun sampai tingkat di bawah yang telah dicapai lima tahun sebelumnya, perekonomian hancur oleh hiper inflasi, sektor pertanian tidak dapat lagi menyediakan bahan pangan yang cukup untuk kebutuhan dalam negeri, dan kemiskinan menjadi nasib sebagian besar penduduk.
Pada saat itu ekspor Indonesia masih didominasi oleh minyak dan gas bumi serta beberapa produk utama lainnya. Sektor pertanian masih menyumbang sekitar 24% PDB. Namun pada 1994 PDB riil  tumbuh hingga 7,6% per tahun selama satu dekade dan industri nonmigas tumbuh sampai 20% dari PDB.
Reformasi utama yang dilakukan pada tahun 1965 fokus pada permasalahan stabilisasi. Dua bidang manajemen ekonomi makro yang diadopsi selama masa stabilisasi merupakan hal penting dalam memandu ekonomi sejak saat itu. Pertama, pemerintah orde baru mengharuskan ketelitian dalam hal anggaran belanja dengan mensyaratkan anggaran berimbang setiap tahun. Kedua, pada tahun 1970, pemerintah menyatakan bahwa rupiah akan menjadi mata uang yang sepenuhnya dapat ditukar, tanpa dibatasi arus jual beli valuta asing masuk atau keluar dari Indonesia.
Reformasi lain yang dilakukan adalah reformasi perpajakan. Pada tahun 1980an ekonomi menghadapi krisis serius. Ada penurunan tingkat ekspor riil sebesar 9% pada tahun 1982 bersamaan dengan penurunan sebesar 0,3% pada nilai PDB riil. Defisit tranksasi juga terjadi meningkat terhadap PDB dari 1% ke 6%. Hal ini mengharuskan alternatif kebijakan untuk mengurangi tekanan pada neraca pembayaran.
Reformasi perpajakan sering diduga sebagai tanggapan atas penurunan harga minyak pada tahun 1983. Namun yang sebenarnya terjadi adalah, reformasi perpajakan dilakukan sebagai kebijakan atas perkiraan bahwa Indonesia tidak mampu terus-menerus bergantung pada pendapatan dari minyak dan gas bumi. Upaya reformasi perpajakan mengenalkan sistem yang sepenuhnya modern, kompleks, tingkat marjinal tinggi, dan sulit untuk diterapkan sehingga memperburuk efisiensi ekonomi.
Reformasi perpajakan membawa peningkatan dramatis pada pendapatan dari sektor nonmigas. Peningkatan ini terjadi dari 5,5% terhadap PDB pada tahun 1982 menjadi 11,2% pada 1983.
Reformasi lain yang dilakukan adalah reformasi perdagangan. Keberadaan penerimaan dari perminyakan menyembunyikan beban atas mismanagement ekonomi makro yang substansial. Sikap pencarian sewa tak terkontrol dan otoritas kepabeanan korup dan tidak efisien, lebih jauh lagi menyebabkan tingginya bea impor, sementara perubahan nilai tukar jarang terjadi dan tidak dapat diperkirakan.
Pada 1985, Indonesia menghadapi krisis lain: perlunya menstimulasi ekspor nonmigas. Akhirnya beberapa bulan kemudian pelabuhan dibuka dan pendapatan tarif naik, sementara nilai impor perlahan menurun. Pada 1986, pemerintah menerapkan bebas bea masuk, dan mengimpor secara langsung, tanpa mempertimbangkan larangan lisensi yang berlaku
Hasilnya, ekspor nonmigas meningkat dari sekitar 5,9 milliar dollar AS pada tahun 1985 menjadi sekitar 30,4 milliar dollar AS pada tahun 1994-peningkatan lebih dari lima kali lipat dalam periode lima tahun. Rata-rata pertumbuhan tahunan sekitar 20%, empat kali lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor dunia. Komposisi ekspor nonmigas juga mengalami perubahan yang dramatis dengan produk seperti karet, kopi, teh, timah, dan alumunium mencapai hampir setengah dari total ekspor nonmigas.
Regulasi reformasi investasi juga dilakukan. Sejak awal tahun 1990-an, terjadi pengurangan batasan investasi secara progresif. Pada tahun 1994, persetujuan investasi asing melebihi nilai 24 milliar dollar AS dan pada tahun 1995 mencapai nilai 40 milliar dollar AS.
Reformasi sektor keuangan dilakukan sebagai alat untuk menanggapi berkembangnya industri. Tahapan-tahapan diperkenalkan, termasuk yang disebut Pakto 88, membangun serangkaian reformasi yang dirancang untuk meningkatkan kompetisi pada sektor keuangan dengan menghilangkan beberapa hambatan yang ada, bahkan setelah reformasi tahun 1983.
Hasil dari beberapa reformasi yang dilakukan adalah, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan proporsi pembentukan modal tertinggi di antara negara-negara berkembang, peningkatan positif yang signifikan dari sektor tenaga kerja, dan tentu saja pengurangan angka kemiskinan yang signifikan dari 1970-1987.

 
Arah pereko-nomian Indonesia ditentukan oleh dua hal pada tahun 2010, yaitu tingkat produktivitas relatif dan sejauhmana Fed tetap mempertahankan fasilitas TARP. Tingkat produktivitas relatif antarbangsa ditentukan oleh produktivitas faktor produksi antarnegara yang memiliki hubungan mobilitas produksi dan keuangan. 
Dalam kasus Indonesia, perekonomian Indonesia sangat ditentukan oleh liberalisasi parsial khususnya dengan dibukanya perdagangan bebas antara ASEAN dan Cina. Dengan dibukanya perdagangan bebas ASEAN dengan Cina pada tahun 2010, konstelasi produktivitas relatif akan mengalami shifting apalagi perekonomian dunia tampaknya belum mengalami perubahan konjungturnya. 

Dalam kondisi seperti ini, strategi big push ala Rosenstein Rodan justru akan menyebabkan defisit pembayaran akut. Dengan tidak berubahnya konjungtur perekonomian dunia, sejauhmana Fed dan ECB mampu bermain dengan tingkat suku bunga rendah masih patut dipertanyakan.
  
Dengan demikian, outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia yang optimis untuk tahun 2010 adalah sebesar 4,6 persen dengan tingkat inflasi sembilan persen. Tingkat inflasi akan berada pada level sekitar 7,5 persen jika neraca pembayaran tetap mengalami surplus dengan dibukanya perdagangan bebas dengan Cina. Namun demikian, jika neraca pembayaran mengalami defisit, inflasi akan membumbung hingga sembilan persen. Sementara itu, pengangguran akan mengalami tekanan yang cukup tinggi karena diperkirakan akan terjadi pengangguran terbuka hingga tambahan 10 juta penganggur, jika dibukanya perdagangan bebas dengan Cina. Di antara negara ASEAN adalah Indonesia yang paling dirugikan dengan dibukanya perdagangan bebas antara ASEAN dan Cina. 

Selama ini, Indonesia mengandalkan sektor non tradable untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 4,3 persen. Sektor tradable tersebut didukung semata-mata oleh pertumbuhan konsumsi masyarakat. Perdagangan bebas menyebabkan lingkages dalam perekonomian nasional karena persamaan produk antara Cina dan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi sebesar 4,6 persen di tahun 2010 akan sulit dicapai jika overheating dalam perekonomian ternyata sangat parah karena bottleneck condition. Perlu diingat bahwa pada masa lima tahun yang lalu dalam pemerintahan SBY dan JK telah gagal dalam membangun infrastruktur. 

''Infratructure Summit'' hanya menjadi jargon yang terbukti gagal diimplementasikan. Saat ini, pemerintah juga membuat jargon yang sama, yaitu ''Road Map Summit'', namun seperti pada Summit yang lalu tidak memiliki kapasitas perencanaan yang mumpuni. ''Road Map Summit'' yang lalu tidak memasukkan unsur kebijakan moneter dan kebijakan produktivitas nasional dalam mendukung pembangunan infrastruktur sehingga model makroekonomi yang tercipta bersifat parsial. Rendahnya kontribusi sektor tradable tersebut, untuk jelasnya, menyebabkan penurunan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi pada periode 2000-2009. Pada periode itu, rata-rata pertumbuhan sebesar lima persen atau turun jika dibandingkan periode 1990-1996, yang rata-rata pertumbuhannya sebesar tujuh persen. 

Jika pemerintah Indonesia mampu membangun sektor infrastruktur di dalam negeri secara tepat sasaran, sektor pertanian akan kembali memiliki pertumbuhan positif pada tahun 2015. Namun demikian, sektor manufaktur tidak akan mampu mengikuti perbaikan seperti itu.

Sektor manufaktur memerlukan tambahan dukungan selain infrastruktur, yaitu bantuan kredit atau keuangan yang bersifat cepat dengan biaya bunga yang murah. Juga, pemerintah harus mengarahkan insentif kepada sector tradables di dalam negeri dengan mengurangi insentif kepada sector non tradables. 

Untuk menjaga koridor positif bagi productivity swing, pemerintah harus menjaga stabilitas di pasar keuangan melalui penciptaan mekanisme deposit insurance yang efisien. Tanpa dilakukannya langkah seperti ini, kasus Bank Century berpotensi akan terjadi lagi mengingat volatilitas perekonomian dunia masih akan tetap tinggi pada tahun 2010.  

Namun, hal tersebut juga sangat tergantung kepada konstelasi moneter dunia. Jika Amerika Serikat dan Uni Eropa mampu mempertahankan pertumbuhan kredit pada tasing 50 persen (TARP), derajat kebebasan bagi perencanaan ekonomi nasional untuk menciptakan productivity swing akan semakin membesar karena Indonesia akan menjadi selang bagi produk-produk Cina menuju pasaran Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Konsekuensinya, pertumbuhan loan sindikasi perbankan menjadi terancam sehingga pertumbuhan kredit perbankan pada 2010 hanya berorientasi kepada kredit konsumsi.
 Apalagi, jika Bank Indonesia terus berupaya membuat tingkat suku bunga menjadi murah. Ini justru akan membuat perekonomian Indonesia bertambah cepat kehancurannya karena kredit konsumsi akan meningkat untuk membeli produk-produk dari Cina.  

Dengan demikian, pertumbuhan kredit pada tahun 2010 diperkirakan hanya mencapai 5,5 persen karena jika mencapai 17 persen seperti yang diinginkan oleh Bank Indonesia, instabilitas pada perekonomian nasional akan membengkak kembali. Perlu diingat bahwa kasus Dubai World belum dapat dianggap selesai sehingga CAR perbankan tahun 2010 diperkirakan akan berada pada tingkat 10 persen saja.
 Dengan demikian, NPL diperkirakan akan mencapai delapan persen pada 2010 karena akan banyak usaha mengalami kesulitan operasional, dalam bersaing dengan produk impor dari Cina.





Pertumbuhan Ekonomi 2011 Diprediksi Lebih Tinggi dari 2010



TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bank Indonesia memperkirakan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2011 akan lebih tinggi dibandingkan tahun 2010. Hal ini akan ditopang sisi eksternal yang kondusif dan permintaan domestik yang tetap kuat. Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution, dalam sambutannya, yang dibacakan Kepala Direktorat Riset dan Pengembangan BI, Sugeng, dalam "Seminar Market Outlook 2011", mengatakan bahwa prospek perekonomian global yang melambat pada 2011 berdampak bagi prospek pertumbuhan ekonomi domestik di 2011.

Terutama, imbuhnya, melalui net ekspor yang menurun sejalan dengan impor yang diperkirakan mengalami peningkatan cukup tinggi. "Diperkirakan, perekonomian masih akan bertumpu pada permintaan domestik yang bersumber dari masih kuatnya konsumsi rumah tangga, karena kuatnya keyakinan konsumen dan berlanjutnya perbaikan investasi yang didukung oleh iklim investasi yang lebih kondusif serta perbaikan soverign credit rating Indonesia menuju investment grade," jelasnya, di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (25/11/2010).

Lebih lanjut, Sugeng menyatakan, mempertimbangkan berbagai hal tersebut, kata dia, ekonomi Indonesia di 2011 diperkirakan dapat tumbuh dalam kisaran enam hingga 6,5 persen.

Sementara itu, tekanan inflasi tahun 2011 mendatang diperkirakan dapat dijaga pada kisaran target yang ditetapkan 5 persen ± 1 persen.

Penulis: Srihandriatmo Malau 

Sebelas Tantangan Ekonomi Indonesia 2011

Perekonomian Indonesia tahun depan diprediksi masih menjanjikan, dengan pertumbuhan diperkirakan berkisar 6,4 persen. Pertumbuhan ini lebih besar 0,6 persen dibandingkan target pertumbuhan tahun ini sebesar 5,8 persen.
Namun, apa yang menjadi tantangan dan risiko yang harus diantisipasi oleh Indonesia pada 2011?
Komite Ekonomi Nasional dalam buku Prospek Ekonomi Indonesia 2011 menuturkan ada sejumlah tantangan dan risiko yang perlu diantisipasi Indonesia di tahun depan.
Pertama, tantangan atas kemungkinan terjadinya gelembung nilai aset (asset bubble) dan inflasi, karena kurangnya daya serap ekonomi nasional terhadap masuknya modal asing, termasuk jangka pendek.
Kedua, terhentinya arus modal masuk dan bahkan terjadinya penarikan kembali modal masuk dalam jumlah besar. Pengendalian dan mitigasi arus modal serta kemungkinan arus balik disebabkan kesalahan mengantisipasi arus modal menjadi risiko yang harus diperhatikan.
Kesalahan dalam mengambil kebijakan, keterlambatan mengambil tindakan serta kurang koordinasi antar pembuat kebijakan juga dapat berakibat buruk terhadap stabilitas makro yang sudah terjaga selama ini.
Ketiga, subsidi energi dan alokasi yang kurang efisisien. Selama ini, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) masih dinikmati orang mampu (berpenghasilan tinggi). Terkait masalah ini, Ketua Komite Ekonomi Nasional, Chairul Tanjung mengatakan yang wajib mendapat subsidi ialah orang miskin, orang mampu sebaiknya tidak dapat subsidi.
Keempat, risiko inflasi terutama dipicu komponen makanan, pendidikan, dan ekspektasi inflasi. Inflasi Indonesia yang masih tinggi, menurut Chairul Tanjung, karena selama ini kita hanya mengandalkan kebijakan moneter Bank Indonesia untuk mengelola demand (permintaan).
Padahal, lanjutnya, selain faktor demand, inflasi juga dipengaruhi faktor suplai atau tersedianya barang dan faktor distribusi yang harus diperhatikan.
Kelima, infrastrukstur dan interkoneksi (transportasi) yang kurang memadai.
Chairul menuturkan, tahun ini Indonesia menjual mobil sebanyak 760 ribu. Jika dalam lima tahun ke depan tidak ada penambahan jalan secara signifikan khususnya di Jakarta, akan terjadi kemacetan. Begitu pula, dengan airport dan pelabuhan.
“Jika tidak ada perbaikan akan terjadi kemacetan luar biasa, yakni kemacetan ekonomi,” ujar Chairul.
Keenam, peningkatan daya saing, perbaikan pendidikan, dan pelatihan serta penambahan pasokan tenaga teknik terdidik yang menjadi penghambat bagi perusahaan untuk melakukan ekspansi produk (utamanya yang padat karya), menghambat investasi dan mengurangi penciptaan nilai tambah dan lapangan pekerjaan. Masalah daya saing Indonesia masih tertinggal dibawah Malaysia, Singapura dan Thailand.
Ketujuh, daya serap atau belanja pemerintah (pusat dan daerah) yang masih belum optimal.
Kedelapan, risiko yang berkenaan dengan kondisi politik dan hukum yang terjadi. Hingga kini, kinerja DPR dalam menyelesaikan legislasi, pembuatan undang-undang (UU), termasuk UU yang berkaitan dengan upaya mendorong pembangunan ekonomi masih jauh dari harapan.
Kesembilan, risiko perubahan iklim, bencana alam, dan krisis keuangan yang datang secara mendadak. Semestinya, risiko ini sudah dapat diatasi dengan baik mengingat kita telah belajar dari pengalaman dalam beberapa tahun belakangan ini.
Kesepuluh, tantangan risiko global, seperti pemulihan ekonomi negara maju masih akan lama, sehingga berdampak pada pemulihan ekonomi dan perdagangan dunia.
Kesebelas, Geopolitical-Geoeconomy G2 mengenai persoalan ketidakseimbangan ekonomi dunia, perang kurs dan potensi perang korea yang sangat tergantung pada G2 (China-AS), bukan G20. Hubungan saling membutuhkan, “Benci tapi rindu” AS-China, yang harus mencari penyelesaian secara kooperatif. Serta risiko gagal bayar utang negara-negara Eropa.


                   - bi.go.id