Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net

Senin, 14 Februari 2011

"Kasat Mata Kemiskinan di Indonesia"


    Pertambahan jumlah penduduk yang cepat di masa lampau, menyebab­kan saat ini pemerintah menghadapi adanya situasi sulit yang menimpa masyarakat, khususnya di wilayah padat penduduk, seperti wilayah pesisir-pantai, pedesaan lahan kering, perkotaan dan sekitarnya. Hal ini telihat dari kenyataan banyaknya potensi sumberdaya alam menjadi semakin terbatas; berkurangnya pemilikan lahan pertanian;  dan nilai tukar yang semakin buruk antara hasil pertanian dengan hasil industri; serta terbatasnya lapangan kerja dan kesempatan usaha yang dapat diakses oleh penduduk miskin kota.

Proses pengentasan masyarakat kemiskinan akan berhasil apabila terjadi pendinamisan masyarakat secara keseluruhan. Disamping itu pola adaptasi baru akan dapat dilalui masyarakat apabila tidak ada perintang yang dapat menghambat terjadinya perkembangan tersebut. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila ada intervensi pemerintah secara langsung dan cukup intense, yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan dengan jalan pembangunan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan dasar

"Kemiskinan dapat dirumuskan sebagai keadaan dari masyarakat yang hidup serba kekurangan, yang terjadi bukan karena dike­hendaki oleh mereka sendiri."
Keadaan sosial ekonomi masyarakat miskin di wilayah pedesaan dan perkotaan masih ditandai oleh pertambahan penduduk yang cukup pesat, dan sebagian terbesar masih tergantung pada sektor agrokompleks dan sektor-sektor tradisional.  Dalam situasi seperti ini tekanan terhadap sumberdaya lahan pedesaan semakin besar dan rata-rata penguasaan aset lahan setiap rumah tangga semakin minim, bahkan banyak rumahtangga yang tidak memiliki lahan garapan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi dampak keterbatasan lahan pertanian tersebut, baik melalui program intensifikasi pertanian, transmigrasi, maupun pengem­bangan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha dalam sektor non-pertanian di pedesaan. 
Sementara itu sebagian penduduk pedesaan mengambil jalan pintas untuk menolong dirinya sen­diri melalui urbanisasi ke kota. Hal ini selanjutnya akan berdampak pada fenomena kemiskinan kota.


Sesungguhnya potret besar ekonomi bangsa adalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan tingkat kesehatan rakyatnya. Sayangnya di negeri ini, pemerintah lebih suka mengukur tingkat kesejahteraan rakyatnya dengan ukuran-ukuran yang tidak berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari rakyatnya. Wajah kemiskinan yang terpampang telanjang, tingginya tingkat pengangguran dan rendahnya kualitas layanan kesehatan hadir berdampingan dengan "kaum borjuis" yang memamerkannya tanpa rasa kepedulian. Kesenjangan tersebut merupakan potret nyata kegagalan pemerintah dalam mengelola kesejahteraan. Pengelola kesejahteraan di negeri ini telah kehilangan kepedulian dan cita-cita "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" sebagaimana di amanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Sudah sepantasnya pemerintah mau belajar dari negara lain dalam mengelola kesejahteraan. Belajar dari negara maju seperti Jepang dan Amerika rasanya terlalu sulit dan berat. Mau belajar dari Singapura juga rasanya kita sudah terlalu jauh tertinggal. Jika tidak malu, kita bisa belajar dari Arab Saudi. Kekayaan Arab Saudi hanya mengandalkan minyak dan jamaah haji, sedangkan Indonesia memiliki sumber daya alam yang bervariasi dari hasil hutan , emas, minyak, batubara, tembaga, pertanian hingga pariwisata. Selain itu pemerintah Indonesia masih menarik pajak dari rakyatnya, sedangkan di Arab Saudi rakyat di bebaskan dari pajak. Arab Saudi hanya mewajibkan rakyatnya untuk membayar zakat, sama seperti yang di lakukan oleh umat Islam di Indonesia.
Hal yang membedakan adalah pengelolaan kesejahteraannya. Di arab Saudi seluruh rakyatnya di bebaskan dari biaya pengobatan, gratis biaya pendidikan dari SD hingga universitas. Selain pendidikan gratis mahasiswa Arab Saudi juga mendapat gaji dari pemerintah mereka sebesar 1000 SR. Gaji ini juga di berikan pada semua mahasiswa asing yang kuliah di arab Saudi dengan jumlah yang sama dengan mahasiswa Arab Saudi. Perbedaan lain, di Arab Saudi semua jenis usaha baik industri maupun perdagangan harus melibatkan warga Arab Saudi sebagai owner. Ingat sebagai owner, bukan sebagai budak. Dalam pengelolaan ekonominya Arab Saudi menerapkan prinsip "harus menjadi tuan di negeri sendiri". Tidak heran, Arab saudi mampu membeli SDM-SDM berkualitas dari seluruh dunia untuk menggerakkan dan mengelola perekonomian yang diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya. Arab Saudi juga mendatangkan jutaan pekerja informal dari berbagai negara muslim, untuk memberi kenyamanan dan kemudahan warga negaranya.
Bandingkan dengan di Indonesia, kemana larinya sumber daya alam yang melimpah dan bervariasi. Kalo pun SDA tersebut telah di kelola siapa yang menjadi tuannya dan siapa budaknya. Siapa yang diuntungkan?
Belum lagi kalo kita melihat semakin mahalnya biaya pendikan, pengobatan dan harga barang-barang kebutuhan pokok. Sepertinya negara ini salah urus dalam mengelola kesejahteraan rakyatnya. Sepertinya, kita akan tetap menjadi miskin di negeri sendiri dan juga menjadi budak di negeri asing. Atau ini memang takdir, bahwa negeri ini lahir sebagai negara kaya raya tapi rakyatnya miskin.
 Krisis global kok selalu jadi kambinghitam bangkrutnya Indonesia ya. Kali ini juga. Tidak tercapainya target pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) lalu (2005-2009) dibilang karena  guncangan dari luar (external shock) berupa krisis ekonomi global.
Yang menyampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Armida S. Alisjahbana usai paparan mengenai RPJMN 2010-2014 di Komisi XI DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (4/2/2010).
Armida menyatakan, ada dua hal yang membuat penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan tahun lalu tidak tercapai. Pertama, adanya pengurangan subsidi yang mengakibatkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga 2 kali pada tahun 2005. Kedua, adanya krisis ekonomi global pada tahun 2008.
“Terasa di kita yang sifatnya external shock itu yang mungkin mempengaruhi pencapaian 2005-2009,” ujarnya.
Dalam RPJMN 2005-2009, pemerintah menargetkan mampu menurunkan tingkat pengangguran dari 9,7% pada tahun 2004 menjadi 5,1% pada tahun 2009. Namun, pada realisasinya untuk tahun 2008, pemerintah hanya mampu menurunkan tingkat pengangguran hingga 8,4%.
Hal serupa juga terjadi pada pencapaian penurunan tingkat kemiskinan. Dalam RPJMN 2005-2009, pemerintah menargetkan penurunan tingkat kemiskinan dari 16,6% menjadi 8,2%. Namun, yang terealisasi pada 2008 jauh dari target yaitu hanya bisa mencapai 15,4%.
Armida menambahkan pada 2009, tingkat pengangguran dan kemiskinan tersebut berangsur turun dengan adanya pemulihan perekonomian negara.
“Kalau 2006 penganggurannya naik mestinya dilihat sampai 2009 itu turun,” sanggahnya.
Dengan demikian, pada RPJMN 2010 ini, pemerintah menargetkan penurunan tingkat pengangguran hingga 5-6% dan tingkat kemiskinan sekitar 8-10% hingga akhir 2014.(dirangkum dari detikfinance)

Rendahnya tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin yang pada kenyataannya sangat berhubungan erat dengan : 

(1).   Masalah pendapatan yang diperoleh;


(2).   Masalah Gizi dan pangan;

(3).   Masalah kesehatan;

(4).   Masalah kematian;


(5).   Masalah lingkungan pemukiman;




(6).   Masalah Pendidi­kan;




(7).   Masalah penguasaan IPTEK/Ketrampilan;



(8).   Masalah pemilikan lahan;


(9).   Masalah Kesempatan kerja; 




(10). Masalah prasarana/sarana kebutuhan dasar.

Pada kenyataannya masalah-masalah tersebut di atas dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu :
(1) masalah-masalah sistem nilai (etos) dan kelembagaan infrastruktur;
(2) masalah-masalah struktural, khususnya keterbatasan penguasaan sumberdaya dan faktor  produksi pertanian, serta kelimpahan tenagakerja;
(3) masalah-masalah kebijakan dan pendekatan model pembangunan.

sumber :  - www.bps.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar